Online Catalogue

Online Catalogue

Minggu, 16 Oktober 2011

Subjek Hukum (Mahkum ‘Alaih)



A.                      Definisi

Subjek hukum atau pelaku hukum adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah. Dalam istilah ushul fiqh, subjek hukum itu disebut mukallaf  atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum ‘alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.

B.                      Syarat-Syarat Mahkum ‘Alaih

Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklif bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan berikut, yaitu:
1.                       Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimla sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits Rasulullah.
2.                       Mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang di dalam istilah ushul fiqh disebut ahlu al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan tersebut ada dua macam, yaitu:
1)                       Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang biasa disebut ahliyah al-wujub, yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Para ahli ushul fiqh membagi ahliyah al-wujub kepada dua tingkatan:
·  Ahliyah al-wujub naqish atau kecakapan hukum lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, contohnya adalah seorang bayi yang masih dalam kandungan; atau kecakapan untuk dikenai kewajiaban tetapi tidak pantas menerima hak, contohnya adalah orang yang telah meninggal dunia namun ia meninggalkan hutang.
·  Ahliyah al-wujub kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan untuk menerima hak. Contohny adalah seorang anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenai kewajiban seperti membayar zakat fitrah.
2)                       Kecakapan untuk melakukan hukum atau yang biasa disebut ahliyah al-ada’, yaitu kepantasan seorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat, yang mana ketiga tingkat ini dikaitkan pada batas umur manusia. Ketiga tingkatan itu ialah:
·  Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun.
·  Ahiyah al-ada’ naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini, tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkat; dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:
Ø      Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa harus mendapat persetujuan dari walinya.
Ø      Tindakan yang semata-mata merugikannya atau merugikan hak-hak yang ada padanya; umpanya pemberian yang dilakukannya, baik dalam bentuk hibah atau shadaqah, pembebasan hutang dan jual beli dengan harga yang tidak pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan disetujui oleh walinya.
Ø      Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian; umpamanya jual beli, upah mengupah, sewa menyewa,dan lainnya yamg di satu pihak mengurangi haknya dan di pihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara muthlak tetapi dalam kesahannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
·  Ahliyah al-ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.

C.                      Hal-hal yang Mempengaruhi Kecakapan Berbuat Hukum (‘Awaridh)

1)      Awaridh samawiyah
yaitu halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Awaridh samawiyah terdiri dari beberapa macam  yaitu :

a.      Gila
Gila ialah kelainan yang terdapat pada akal yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang menurut yang  semestinya. Bila pada orang yang waras ucapan dan perbuatannya adalah atas kehendak akal, maka ucapan atau perbuatannya orang gila tidak menurut  kehendak akal .

b.      Idiot (‘utah)
‘Utah atau idiot adalah kelainan yang terdapat dalam akal yang menghalangi seseorang berfikir  secara baik, sehingga ucapannya tidak menentu. Sewaktu-waktu ia berbicara seperti orang gila dan diwaktu lainya seperti orang waras demikian pula dalam tindakannya.

c.       Lupa
Lupa ialah tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akan beban hukum yang dipikulkan kepadanya.

d.      Ketiduran
Keadaan tertidur merupakan halangan taklif besifat temporer yang dalam waktu itu seseorang tidak dapat memahami tuntutan hukum. Keadaan orang tidur sama dengan orang jahil yang tidak punya kehendak dan tidak punya kesadaran. Oleh karena itu tertidur itu termasuk salah  satu sebab diantara  sebab-sebab gugurnya tuntutan hukum sejauh yang menyangkut hak Allah.

e.       Pingsan
Pingsan merupakan halangan temporal yang menyebabkan seseorang tidak dapat memahami tuntutan hukum dan menjalankannya, melebihi halangan taklif yang berlaku atas orang tidur. Karena itu segala hukum yang belaku terhadap orang tidur sebagaimana disebutkan diatas, berlaku pula terhadap orang pingsan.




2.)    Awaridh Muktasabah
Yaitu halangan yang menimpa seseorang dalam keadaan beban hokum yang timbulnya tersebab oleh perbuatan manusia atau dalam keberadaannya masih didapatkan kehendak manusia walaupun dalam bentuk terbatas. Yang termasuk kedalam halangan bentuk ini adalah sebagai berikut :

a.      Mabuk
Mabuk ialah tertutupnya akal disebabkan oleh meminum atau memakan sesuatu yang mempengaruhi daya akal, baik dalam bentuk cairan atau bukan. Mabuk menyebabkan pembicaraan tidak menentu seperti  igauan orang tidur dan secara fisik ia sehat.
Adapun  mabuk dalam bentuk kedua ini, ia berdosa karena perbuatan mabuknya itu. Sedangkan mengenai hukum yang berlaku sebagai akibat dari perbuatan mabuknnya itu, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama :
1.                       Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mabuk dalam bentuk kedua dituntut atas segala bentuk tindakannya secara sempurna. Artinya, mabuk itu tidak menggugurkan sama sekali dari beban hukum.
2.                       Imam Ahmad dan Imam Syafi’i serta Imam Malik dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa orang mabuk yang tidak menyadari apa yang diucapkannya tidak shah akadnya, karena yang menjadi dasar dari semua akad adalah kerelaan. Bila hilang kesadarannya, maka tidak lagi diperhitungkan relanya itu. Demikian pula tidak dapat dibebankan kepadanya sanksi hukum yang bersifat badan (hudud) yang dapat digugurkan dengan adanya syubhat yaitu qisash dan hudud, karena sanksi hukum seperti ini dapat dihindarkan dengan syubhat. Kehilangan kesadaran ini setidaknya dapat merupakan syubhat.
b. Safih (bodoh)
Safih atau bodoh adalah kelemahan yag terdapat pada seseorang yang menyebabkan ia berbuat dalam hartanya menyalahi apa yang dikehendaki oleh akal yang sehat. Safih tidak meniadakan sesauatu pun dari hukum syara’. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad yang dilakukan oleh safih yang tidak berhubungan dengan kebendaan, terlaksana secara sempurna.
c. Jahil
Yaitu ketidaktahuan tentang adanya hukum. Namun hukum Islam telah dijelaskan dalam sumber-sumbernya. Baik dalam Al Quran, sunnah, maupun ijma’, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakannya dengan alasan tidak tahu.

d. Tersalah
Tersalah atau khatha’ adalah menyengaja melakukan suatu perbuatahn pada tempat yang dituju oleh suatu kejahatan. Contoohnya, seorang pemburu menembak burung, tetapi yang kena adalah orang hingga mati. Pemburu itu menyengaja menembak, tetapi bukan bermaksud menembak orang yang menjadi sasaran tindak pelanggarannya.
Tersalah melakukan sesuatu yang menyebabkan suatu kejahatan adalah termasuk suatu kejahatan juga. Namun kejahatannya terletak pada ketidakhati-hatiannya alam berbuat, bukan kejahatan dalam bentuk perbuatan. Karena itu sanksi kejahatan yang dilakukan secara tersalah tidak seberat sanksi yang dikenakan terhadap kejahatan yang dilakukan secara sengaja.


e. Terpaksa
Yang dimaksud dengan paksaan atau keadaan terpaksa ialah “menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya”.

f. Dalam Perjalanan
yang dimaksud dengn perrjalanan dalam pembahassan ini adalah keadaan tertentu dalam perjalanan yang menyulitkan seseorang utuk melakukan kewajiban agama. Kesulitan dalam perjalanan ini pada dasarnya tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum.

g. Dalam keadaan sakit
Pengertian sakit atau dalam keadaan sakit di sini ialah penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan kewajiban hukum. Sebagaimana keadaan “perjalanan”, sakitpun tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum, karena pada orang sakit akal yang menjadi dasar adanya kecakapan tetap dalam keadaan utuh.

h. Kematian
Kematian menggugurkan kewajiban hukum taklifi yang bersifat badani dan keduniaan; seperti sholat, puasa, haji dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar