Online Catalogue

Online Catalogue

Senin, 17 Februari 2014

Hidup Anak yang Terlahir dari Rahim Seorang Wanita Karir!

Terakhir ngeposting tahun 2012. Ckckck. Tahun 2013 gak ngeposting apapun. Memalukan. -_-
Kita awali postingan di tahun 2014.
Berawal dari temen yang memposting gambar bertuliskan sesuatu di path. Isinya gini :

"Seorang anak kecil yang polos bertanya pada ibunya.
A : Ma, apakah mau menitipkan tas mama yang berisi uang dan perhiasan banyak kepada pembantu?
M : Tentu saja tidak, nak. Mama engga percaya dia.
A : Tapi ma... Kenapa mama menitipkan aku ke dia?
#sebuahrenungan"

Sebagai anak yang terlahir dari rahim seorang wanita karir, gue merasa tersindir. Haha. Dulu waktu masih TK, setiap mama mau berangkat ke kantor, gue tarik-tarik tangan mama sambil nangis-nangis. Sedih. Ditinggal terus. Kadang pulangnya malem. Gue dititip ke butet (orang yang ngerawat gue, masih saudara dekat sih, dan gue sayang banget sama dia). Berangkat TK dianter bapa (sekalian berangkat ke kantor itu juga -_-) pulangnya dijemput sama butet. Gitu aja siklusnya.
Udah mulai masuk SD, masih dianter jemput. Soalnya jarak MI gue emang lumayan kalo jalan kaki. Harus naek angkot satu kali. Siklusnya sama. Pagi dianter bapa, siangnya dijemput butet. Nah, gue lupa nih si butet udah gak tinggal di rumah lagi sejak gue kelas berapa. Digantikan oleh kak Nuraini (masih saudara dekat juga) yang disekolahin mama. Ya siklusnya tetep sama. Gak berubah. Sampai tiba waktu kak Nuraini ini dipinang seorang pria dan menetap di Jambi. Mulai saat itu, gue udah mulai berangkat sekolah sendiri, pulang juga sendiri (jomblo, eh masih SD deng.). Setiap pagi berangkat sekolah, kunci rumah pasti gue yang pegang. Pulang sekolah di rumah selalu sendiri. Untung gue punya kucing (si Puteng). Teman senang, teman sepi. Kalau pulang sekolah, setiap buka pintu rumah pasti Puteng langsung menghampiri pintu. Gue lumayan gak merasa kesepian.

Makin dewasa, gue makin ngerti. Gue gak pernah protes lagi. Kenapa mama kerja terus, kenapa dede ditinggal terus, dan kenapa kenapa yang lainnya. Semua yang mama lakukan memang untuk anak. Ambil positifnya aja. Jaman sekarang, kalau seorang istri hanya bergantung pada penghasilan suami, menurut gue itu payah. Istri harus cerdas. Gotong royong bersama suami. Sama-sama bekerja (atas izin suami loh ya). Harus berpikir panjang. Suatu saat kalau (naudzubillah) si suami kena phk atau omzet usahanya menurun drastis? Atau yang lebih ekstrim lagi, suami meninggal? Biaya hidup, biaya sekolah, dan biaya-biaya yang lainnya? Jadi menurut gue, gak salah wanita ikut andil dalam mencari nafkah. Bergotong royong bersama suami. Asalkan, ya itu. Tetap berada pada koridor. Tidak lupa pada kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi anak-anaknya.

Bagaimana halnya dengan menitipkan anak pada pembantu seperti yang tertera pada paragraf teratas?
Bagi yang masih memiliki nenek/kerabat dekat yang bersedia merawat si anak, ya Alhamdulillah. Kalau tidak ada? Kalau keluarga perantau, bukankah sanak saudara jauh? Ya mau tidak mau harus memberi kepercayaan kepada orang yang dapat dipercaya. Tapi ya harus waspada juga. Hidup anak yang terlahir dari rahim seorang wanita karir. I'm proud of you, Mom. Thanks for everything you gave for me. 

---Lanjut revisi proposal skripsi yuk ah, bye.---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar