Online Catalogue

Online Catalogue

Minggu, 19 Oktober 2014

Selalu Dia

Dia...yang tak pernah tahu bahwa dia begitu spesial.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa dia begitu diharapkan.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa dia begitu dirindukan.

Dia...yang tak pernah tahu bahwa aku menyiapkan singgasana di hati untuknya.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa aku menghabiskan waktuku untuk mengharapkannya.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa aku sedang bernegosiasi kepada Tuhan agar dia menjadi takdirku.

Dia.
Selalu dia.
Semoga waktu dan tempat bersepakat menyatukan aku dan dia disaat yang tepat.


Oleh : Pengagum dia

Senin, 06 Oktober 2014

Jika Saja Kau dan Aku adalah Adam dan Hawa

Perasaan itu sederhana. Jika saja kau Adam, dan aku adalah Hawa. Tak ada yang lain. Hanya kau dan aku. Tak ada pertimbangan ataupun tuntutan kau harus begini aku harus begitu. Dengan ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tanpa dibanding-bandingkan dengan yang lain. Tanpa paksaan menjadi orang lain.

Sayangnya, kau dan aku bukan hidup di masa Adam dan Hawa diciptakan. Kau dan aku bukanlah Adam dan Hawa.

Minggu, 05 Oktober 2014

Nadia Bukan Untuk Rangga

"Nad, ngga ditemenin sama Rangga?"
"Emang Rangga kemana, Nad?"
"Itu mah Rangga kebangetan cueknya"
"Kok Rangga begitu sih Nad sikapnya?"
"Minta anter sama Rangga aja, Nad"
"Balikan aja sama Deas sih Nad"
"Jangan begitu Nad, kali aja Rangga punya alasan lain kenapa dia bersikap kaya gitu"

Nadia mendekap boneka yang berukuran sebesar badannya. Merenung. Merangkum opini-opini teman-temannya tentang Rangga. Nadia menghela nafas panjang.
Nadia masih terlalu polos. Rangga tidak pernah memberikan perhatian lebih. Jika Nadia komplain, maka Rangga menganggapnya lelucon. Tidak pernah menggubris keinginan Nadia.

"Rangga, aku dapat undangan pernikahan Minggu depan. Kita datang ya"
"Nggg... Iya deh"
Lalu sehari sebelum hari Minggu.
"Rangga, besok jadi kan?"
"Maaf Ya, aku ada janji sama teman mau main ke tempat teman. Aku buat janji sebelum ajakan kamu."
"Oh gitu.. Okey"

Sayangnya, Nadia tidak pernah menyadari sikap Rangga semakin aneh.

"Rangga, aku ada acara buka puasa bersama di rumah teman. Kamu ikut ya. Mereka pada bawa pasangan"
"Jangan dulu deh Ya, aku ga pegang uang"
"Pake punya aku dulu gak apa kan. Kaya sama siapa aja"
"Gak ah Ya. Pantang cowo pergi sama cewenya tanpa pegang uang sepeserpun"

Nadia sebenarnya lelah. Tapi ia tidak pernah menyadarinya.

"Rangga, aku mau telepon"
"Gak ah Ya. Aku gak suka telponan"

Nadia terus bersabar dengan keadaan. Mencoba berdamai. Menerima.

"Rangga, aku kangen. Besok kamu kemana?"
"Ngga kemana-kemana. Kenapa emang?"
"Gapapa"
Esoknya...
"Rangga, makan es krim yu"
"Yah jangan sekarang deh ya. Lusa aja"
Lusanya, Rangga tak sedikitpun membahas janjinya. Nadia pun hanya diam. Ia tahu betul bahwa ia lelah menagih janji.

"Rangga, seharian ini kamu gak sms aku"
"Yeah. Now you get it"
Nadi sadar betul kehadirannya tak pernah dianggap penting oleh Rangga.
"Rangga, kamu bosan ya?"
"Bosan kenapa?"
"Ya bosan. Jenuh sama aku"
Nadia mengantuk. Ia tertidur. Ia tak tahu bahwa esok pagi kenyataan menjengkelkan akan terjadi.

Pagi.
Nadia mengaktifkan handphone.
Nadia membuka pesan dari Rangga. Banyak sekali. Panjang. Kalimat-kalimat yang memuakkan untuk dicerna. Rangga tidak menemukan apa yang ia cari dalam diri Nadia. Itu saja yang Nadia tangkap dari semua pesan dari Rangga.
Bisa apa Nadia selain mengiyakan keinginan Rangga?
Nadia. Malangnya ia. Menghabiskan hati dan pikiran untuk Rangga. Tanpa ada timbal balik.
Nadia. Ketika ia terlalu lelah mencintai Rangga, maka sesungguhnya Nadia bukan untuk Rangga.

Terpaksa Puas

Terkadang aku terpaksa puas dengan kenyataan sebatas ini.
Aku dan kau.
Aku yang mengagumi kau.
Sejak entah kapan pastinya.
Entah kapan aku mulai menyadarinya.

Aku terpaksa puas.
Berdamai dengan keadaan.
Menyadari ada jarak yang entah seberapa jauhnya jika ditempuh.
Menyadari tak pantasnya diri walau mengagumi.
Menyadari betapa aku ternyata menghabiskan banyak waktuku untuk berharap.
Mengharapkan sosok yang terlampau sempurna di mataku.

Ketika mulut tak sanggup mengucap harapan-harapan itu.
Aku membiarkan hati yang berbicara.
Membiarkan doa yang bekerja.
Membiarkan waktu mengambil alih kesimpulan harapanku.
Memercayai Tuhan mengendalikan semuanya.
Dan sejauh ini, aku terpaksa puas.