Online Catalogue

Online Catalogue

Rabu, 31 Desember 2014

Goodbye 2014 and Welcome 2015

31 Desember 2014.
Di penghujung 2014 ini aku merasa lucu. Lucu dalam artian yang aneh. Aneh dalam artian yang tidak aku mengerti. Seperti menyadari akan sesuatu.

Tadi pagi, aku mendengar kabar dari teman yang memiliki teman dekat. Sudah membicarakan tentang pernikahan dari jauh jauh hari. Tapi tadi malam si pria akhirnya mengaku jujur bahwa ia telah bertunangan dengan wanita lain. Dengan dalih sudah mendapat paksaan untuk segera menikah dari keluarga besarnya. Saat itu aku berpikir, kok tega-teganya si pria ini bertunangan dengan wanita lain tanpa penjelasan apapun sebelumnya dan baru memberi tahu saat pertunangan sudah 3mingguan terlaksana. Bisa dibayangkan perasaan temanku seperti apa kan? Aku saja sampai shock mendengar ceritanya. Apalagi dia yg benar-benar mengalaminya.
Temanku bercerita, mungkin ini jawaban dari istikhoroh yg ia jalani. Isi permintaannya pada Allah kurang lebih seperti ini "ya Allah jika memang berjodoh mohon permudah jalanny. Jik tidak, mohon jauhkan." Dia bilang, mungkin selama ini dia tidak menyadari jawaban dari Allah. Saat dia mulai jauh dari si pria tersebut, dia selalu meminta agar didekatkan kembali. Sungguh rencana Allah selalu lebih baik daripada yg kita duga.
Tapi, poin yg penting dari kejadian ini adalah betapa Allah senantiasa menunjukkan kasih sayangNya dengan cara apa saja. Pun dengan cara menyakitkan seperti kejadian di atas. Allah masih melindungi temanku dari jodoh yg tidak tepat menurut versi Allah. Entah bagaimana jadinya jika temanku tetap percaya pada pria yg tidak bisa dipercaya seperti itu.

Siang harinya, aku mendengar kabar dari teman yang menunggu kepastian kelolosan seleksi beasiswa s2 di negeri Jiran dan kepastian kelolosan tes CPNS. Satu frekuensi, baru saja aku berniat menanyakan kelanjutan beritanya, dia lebih dulu berkabar bahwa dia lolos tes CPNS. So excited mendengar kabarnya. Perlu diketahui, sebenarnya keikutsertaannya dalam proses seleksi tes CPNS ini adalah permintaan ibunya. Kata ibunya, sambil menunggu kabar dari Universitas, tidak ada salahnya ikut tes CPNS. Walhasil, tau dong gimana perasaan ibunya saat mendengar kabar ini? Pasti jauh lebih excited. Doa ibu memang tidak ada yg bisa menandingi kemustajab-annya. Tapi ternyata, tentang beasiswa itu, temanku juga lolos. How lucky you are, dude! Serta merta aku bertanya. Jadi pilih yang mana? Dia bilang, berhubung yg lebih dulu keluar hasilnya adalah tes CPNS, maka beasiswa dikesampingkan dulu. See? Betapa rencana Allah mengagumkan.
Poin penting dari kejadian ini? Allah pun bisa saja menunjukkan kasih sayangNya dengan kejadian membahagiakan. Rencana yg unpredictable. Rencana yg indah. Yg tidak disangka-sangka. Siapa yg tahu maksud dari rencana Allah ini? Bisa saja jika temanku memilih melanjutkan studi ke negeri Jiran, nanti ibunya tidak kuat menahan rasa rindu kan. Wallahu a'lam.

Yang jelas, Allah selalu menunjukkan kasih sayang kepada hambaNya dengan cara membahagiakan atau menyakitkan sekalipun. Baik dan menyenangkan bagi kita, belum tentu baik dan akan membahagiakan kita kelak menurut Allah kan? Kita hanya bisa selalu pdkt sama Allah. Agar Allah senantiasa menunjukkan apa-apa yg terbaik untuk kita. Bayangkan jika Allah tidak sayang pada kita. Betapa hidup kita jauh dari rasa tenteram. Subhanallah.
 Ya Allah, jadikan kami hambaMu yg pandai bersyukur dan senantiasa merindu padaMu. Aaamiiin.

Minggu, 19 Oktober 2014

Selalu Dia

Dia...yang tak pernah tahu bahwa dia begitu spesial.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa dia begitu diharapkan.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa dia begitu dirindukan.

Dia...yang tak pernah tahu bahwa aku menyiapkan singgasana di hati untuknya.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa aku menghabiskan waktuku untuk mengharapkannya.
Dia...yang tak pernah tahu bahwa aku sedang bernegosiasi kepada Tuhan agar dia menjadi takdirku.

Dia.
Selalu dia.
Semoga waktu dan tempat bersepakat menyatukan aku dan dia disaat yang tepat.


Oleh : Pengagum dia

Senin, 06 Oktober 2014

Jika Saja Kau dan Aku adalah Adam dan Hawa

Perasaan itu sederhana. Jika saja kau Adam, dan aku adalah Hawa. Tak ada yang lain. Hanya kau dan aku. Tak ada pertimbangan ataupun tuntutan kau harus begini aku harus begitu. Dengan ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tanpa dibanding-bandingkan dengan yang lain. Tanpa paksaan menjadi orang lain.

Sayangnya, kau dan aku bukan hidup di masa Adam dan Hawa diciptakan. Kau dan aku bukanlah Adam dan Hawa.

Minggu, 05 Oktober 2014

Nadia Bukan Untuk Rangga

"Nad, ngga ditemenin sama Rangga?"
"Emang Rangga kemana, Nad?"
"Itu mah Rangga kebangetan cueknya"
"Kok Rangga begitu sih Nad sikapnya?"
"Minta anter sama Rangga aja, Nad"
"Balikan aja sama Deas sih Nad"
"Jangan begitu Nad, kali aja Rangga punya alasan lain kenapa dia bersikap kaya gitu"

Nadia mendekap boneka yang berukuran sebesar badannya. Merenung. Merangkum opini-opini teman-temannya tentang Rangga. Nadia menghela nafas panjang.
Nadia masih terlalu polos. Rangga tidak pernah memberikan perhatian lebih. Jika Nadia komplain, maka Rangga menganggapnya lelucon. Tidak pernah menggubris keinginan Nadia.

"Rangga, aku dapat undangan pernikahan Minggu depan. Kita datang ya"
"Nggg... Iya deh"
Lalu sehari sebelum hari Minggu.
"Rangga, besok jadi kan?"
"Maaf Ya, aku ada janji sama teman mau main ke tempat teman. Aku buat janji sebelum ajakan kamu."
"Oh gitu.. Okey"

Sayangnya, Nadia tidak pernah menyadari sikap Rangga semakin aneh.

"Rangga, aku ada acara buka puasa bersama di rumah teman. Kamu ikut ya. Mereka pada bawa pasangan"
"Jangan dulu deh Ya, aku ga pegang uang"
"Pake punya aku dulu gak apa kan. Kaya sama siapa aja"
"Gak ah Ya. Pantang cowo pergi sama cewenya tanpa pegang uang sepeserpun"

Nadia sebenarnya lelah. Tapi ia tidak pernah menyadarinya.

"Rangga, aku mau telepon"
"Gak ah Ya. Aku gak suka telponan"

Nadia terus bersabar dengan keadaan. Mencoba berdamai. Menerima.

"Rangga, aku kangen. Besok kamu kemana?"
"Ngga kemana-kemana. Kenapa emang?"
"Gapapa"
Esoknya...
"Rangga, makan es krim yu"
"Yah jangan sekarang deh ya. Lusa aja"
Lusanya, Rangga tak sedikitpun membahas janjinya. Nadia pun hanya diam. Ia tahu betul bahwa ia lelah menagih janji.

"Rangga, seharian ini kamu gak sms aku"
"Yeah. Now you get it"
Nadi sadar betul kehadirannya tak pernah dianggap penting oleh Rangga.
"Rangga, kamu bosan ya?"
"Bosan kenapa?"
"Ya bosan. Jenuh sama aku"
Nadia mengantuk. Ia tertidur. Ia tak tahu bahwa esok pagi kenyataan menjengkelkan akan terjadi.

Pagi.
Nadia mengaktifkan handphone.
Nadia membuka pesan dari Rangga. Banyak sekali. Panjang. Kalimat-kalimat yang memuakkan untuk dicerna. Rangga tidak menemukan apa yang ia cari dalam diri Nadia. Itu saja yang Nadia tangkap dari semua pesan dari Rangga.
Bisa apa Nadia selain mengiyakan keinginan Rangga?
Nadia. Malangnya ia. Menghabiskan hati dan pikiran untuk Rangga. Tanpa ada timbal balik.
Nadia. Ketika ia terlalu lelah mencintai Rangga, maka sesungguhnya Nadia bukan untuk Rangga.

Terpaksa Puas

Terkadang aku terpaksa puas dengan kenyataan sebatas ini.
Aku dan kau.
Aku yang mengagumi kau.
Sejak entah kapan pastinya.
Entah kapan aku mulai menyadarinya.

Aku terpaksa puas.
Berdamai dengan keadaan.
Menyadari ada jarak yang entah seberapa jauhnya jika ditempuh.
Menyadari tak pantasnya diri walau mengagumi.
Menyadari betapa aku ternyata menghabiskan banyak waktuku untuk berharap.
Mengharapkan sosok yang terlampau sempurna di mataku.

Ketika mulut tak sanggup mengucap harapan-harapan itu.
Aku membiarkan hati yang berbicara.
Membiarkan doa yang bekerja.
Membiarkan waktu mengambil alih kesimpulan harapanku.
Memercayai Tuhan mengendalikan semuanya.
Dan sejauh ini, aku terpaksa puas.

Senin, 17 Februari 2014

Hidup Anak yang Terlahir dari Rahim Seorang Wanita Karir!

Terakhir ngeposting tahun 2012. Ckckck. Tahun 2013 gak ngeposting apapun. Memalukan. -_-
Kita awali postingan di tahun 2014.
Berawal dari temen yang memposting gambar bertuliskan sesuatu di path. Isinya gini :

"Seorang anak kecil yang polos bertanya pada ibunya.
A : Ma, apakah mau menitipkan tas mama yang berisi uang dan perhiasan banyak kepada pembantu?
M : Tentu saja tidak, nak. Mama engga percaya dia.
A : Tapi ma... Kenapa mama menitipkan aku ke dia?
#sebuahrenungan"

Sebagai anak yang terlahir dari rahim seorang wanita karir, gue merasa tersindir. Haha. Dulu waktu masih TK, setiap mama mau berangkat ke kantor, gue tarik-tarik tangan mama sambil nangis-nangis. Sedih. Ditinggal terus. Kadang pulangnya malem. Gue dititip ke butet (orang yang ngerawat gue, masih saudara dekat sih, dan gue sayang banget sama dia). Berangkat TK dianter bapa (sekalian berangkat ke kantor itu juga -_-) pulangnya dijemput sama butet. Gitu aja siklusnya.
Udah mulai masuk SD, masih dianter jemput. Soalnya jarak MI gue emang lumayan kalo jalan kaki. Harus naek angkot satu kali. Siklusnya sama. Pagi dianter bapa, siangnya dijemput butet. Nah, gue lupa nih si butet udah gak tinggal di rumah lagi sejak gue kelas berapa. Digantikan oleh kak Nuraini (masih saudara dekat juga) yang disekolahin mama. Ya siklusnya tetep sama. Gak berubah. Sampai tiba waktu kak Nuraini ini dipinang seorang pria dan menetap di Jambi. Mulai saat itu, gue udah mulai berangkat sekolah sendiri, pulang juga sendiri (jomblo, eh masih SD deng.). Setiap pagi berangkat sekolah, kunci rumah pasti gue yang pegang. Pulang sekolah di rumah selalu sendiri. Untung gue punya kucing (si Puteng). Teman senang, teman sepi. Kalau pulang sekolah, setiap buka pintu rumah pasti Puteng langsung menghampiri pintu. Gue lumayan gak merasa kesepian.

Makin dewasa, gue makin ngerti. Gue gak pernah protes lagi. Kenapa mama kerja terus, kenapa dede ditinggal terus, dan kenapa kenapa yang lainnya. Semua yang mama lakukan memang untuk anak. Ambil positifnya aja. Jaman sekarang, kalau seorang istri hanya bergantung pada penghasilan suami, menurut gue itu payah. Istri harus cerdas. Gotong royong bersama suami. Sama-sama bekerja (atas izin suami loh ya). Harus berpikir panjang. Suatu saat kalau (naudzubillah) si suami kena phk atau omzet usahanya menurun drastis? Atau yang lebih ekstrim lagi, suami meninggal? Biaya hidup, biaya sekolah, dan biaya-biaya yang lainnya? Jadi menurut gue, gak salah wanita ikut andil dalam mencari nafkah. Bergotong royong bersama suami. Asalkan, ya itu. Tetap berada pada koridor. Tidak lupa pada kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi anak-anaknya.

Bagaimana halnya dengan menitipkan anak pada pembantu seperti yang tertera pada paragraf teratas?
Bagi yang masih memiliki nenek/kerabat dekat yang bersedia merawat si anak, ya Alhamdulillah. Kalau tidak ada? Kalau keluarga perantau, bukankah sanak saudara jauh? Ya mau tidak mau harus memberi kepercayaan kepada orang yang dapat dipercaya. Tapi ya harus waspada juga. Hidup anak yang terlahir dari rahim seorang wanita karir. I'm proud of you, Mom. Thanks for everything you gave for me. 

---Lanjut revisi proposal skripsi yuk ah, bye.---